Selasa, 28 Juni 2011

Bisikan Allah, Bisikan Malaikat, Bisikan Nafsu, Bisikan Syetan

Imam Al-Ghazali dalam Tulisan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazaly dari kitab Roudlotut Tholibin wa-‘Umdatus Salikin, ini kami turunkan karena banyaknya pertanyaan dari pembaca soal cara membedakan bisikan-bisikan dari dalam hati, apakah dari Allah, nafsu atau syetan. Red.)

Kajian ini seputar bisikan-bisikan hati (khawathir) dengan segala bentuknya, upaya memerangi, mengalahkan dan unggul dalam menghalau perbuatan syetan yang jahat. Juga tentang berlindung kepada Allah dari syetan dengan tiga cara:


Pertama, harus mengetahui godaan, rekayasa dan tipuan syetan.

Kedua, hendaknya tidak menanggapi ajakannya, sehingga qalbu anda tidak bergantung dengan ajakan itu.

Ketiga, langgengkan dzikrullah dalam qalbu dan lisan.

Sebab dzikrullah bagi syetan seperti penyakit yang menyerang manusia.


Untuk mengetahui rekayasa godaan syetan, akan tampak pada bisikan-bisikan (khawathir) dan berbagai macam caranya. Mengenai pengetahuan tentang berbagai macam bisikan hati, patut diketahui, bahwa bisikan-bisikan itu adalah pengaruh yang muncul di dalam qalbu hamba yang menjadi pendorong untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, proses yang sepenuhnya terjadi di dalam qalbu ini berasal dari Allah - yang menjadi Pencipta segala sesuatu.


Dalam kaitan ini, bisikan hati ada empat macam:


Suatu bisikan yang datang dari Allah swt. dalam qalbu hamba adalah sebagai bisikan awal, sehingga Dia disebut dengan Nama al-Khathir (Sang Pembisik).

Bisikan yang relevan dengan watak alam manusia, yang disebutan-nafs (jiwa).
Bisikan yang terdorong oleh ajakan syetan, yang disebut waswas (perasaan ragu-ragu).
Bisikan yang juga datang dari Allah yang disebut al-Ilham.
Al-Khathir adalah bisikan yang datang dari Allah swt. sebagai bisikan awal, terkadang berdimensi kebaikan, kemuliaan dan pemantapan dalam berhujjah. Kadang-kadang berdimensi negatif dan sebagai ujian.
Al-Khathir yang datang dari pemberi Ilham tidak akan terjadi, kecuali mengandung kebajikan, karena Dia adalah Yang Memberi nasihat dan bimbingan. Sedangkan al-Khathir yang datang dari syetan, tidak datang kecuali mengandung elemen kejahatan.

Bisikan ini terkadang sepintas mengandung kebajikan, tetapi dibalik itu ada makar dan istidraj (covernya nikmat, dalamnya siksa bencana).

Sementara bisikan yang tumbuh dari hawa nafsu tidak luput dari elemen kejahatannya. Terkadang juga ada elemen baik tidak sekadar untuk pencapaian kenikmatan saja.

Ada tiga persoalan yang harus ketahui di sini:


Pertama-tama, beberapa ulama berkata bahwa jika ingin mengenal dan mengetahui perbedaan antara bisikan kebaikan dan bisikan kejahatan, maka pertimbangkan dengan tiga ukuran nilai (mawazin), yang dapat mendeteksinya:

Apabila bisikan itu relevan dengan syariat, berarti baik. Jika sebaliknya - baik karena rukhshah atau syubhat, maka tergolong bisikan jahat.

Manakala dengan mizan(ukuran nilai) itu tidak diperoleh kejelasan perbedaan masing-masing, sebaiknya konfirmasikan dengan teladan orang-orang saleh. Jika sesuai dengan teladan mereka, maka ikutilah, jika tidak ada kebaikan, berarti hanya suatu keburukan.


Apabila dengan ukuran nilai (miizan) demikian masih belum menemukan kejelasan, konfrontasikan dengan motivasi yang terdapat pada nafs (ego) dan hawa (kesenangan). Jika ukuran nilainya merujuk sekadar pada kecenderungan nafs (ego) yakni kecenderungan naluriah dan bukan untuk mencari harapan (raja’) dari Allah, tentu saja termasuk keburukan.


Kedua, apabila ingin membedakan antara bisikan kejahatan yang bermula dari sisi syetan, atau dari sisi nafs (ego) ataukah bisikan itu dari sisi Allah swt., perlu anda perhatikan tiga hal ini:
Jika anda menemui bisikan yang kokoh, permanen, sekaligus konsisten pada satu hal, maka bisikan itu datang dari Allah swt., atau dari nafs (jika menjauhkan diri dari Allah). Namun jika bisikan itu menciptakan keraguan dan mengganjal dalam hati , maka itu muncul dari syetan.

Apabila bisikan itu jumpai setelah melakukan dosa, berarti itu datang dari Allah sebagai bentuk sanksi dari-Nya kepada anda. Jika bukan muncul dari akibat dosa, bisikan itu datang dari diri anda, yang berarti dari syetan.

Jika anda temui bisikan itu tidak melemahkan atau tidak mengurangi dari dzikir kepada Allah swt., tetapi bisikan itu tidak pernah berhenti, berarti dari hawa nafsu. Sebaliknya, jika melemahkan dzikir berarti dari syetan.

Ketiga, apabila ingin membedakan apakah bisikan kebaikan itu datang dari Allah swt. atau dari malaikat, maka perlu diperhatikan tiga hal pula:


Manakala melintas sekejap saja, maka datang dari Allah swt. Namun jika berulang-ulang, berarti datang dari malaikat, karena kedudukannya sebagai penasihat manusia.


Manakala bisikan itu muncul setelah usaha yang sungguh-sungguh dan ibadah yang lakukan, berarti datang dari Allah swt. Jika bukan demikian,bisikan itu datang dari malaikat.

Apabila bisikan itu berkenaan dengan masalah dasar dan amal batin, bisikan itu datang dari Allah swt. Tetapi jika berkaitan dengan masalah furu` dan amal-amal lahiriah, sebagian besarnya dari malaikat. Sebab, menurut mayoritas ahli tasawuf malaikat tidak memiliki kemampuan untuk mengenal batin hamba Allah.

Sementara itu, bisikan untuk suatu kebaikan yang datang dari syetan, merupakan istidraj menuju amal kejahatan yang lantas menjadi berlipat-lipat, maka perlu memperhatikan dengan cermat:


Lihatlah, apabila dalam diri anda, pada salah satu perbuatan jika berasal dari bisikan di dalam hati dengan penuh kegairahan tanpa disertai rasa takut, dengan ketergesa-gesaan bukan dengan waspada dengan tanpa perasaan aman, ketakutan pada Allah, dengan bersikap buta terhadap dampak akhirnya, bukan dengan mata batin, ketahuilah bahwa bisikan itu berasal dari syetan. Maka jauhilah, Bisikan seperti itu, harus jauhi.


Sebaliknya jika bisikan itu muncul bukan seperti bisikan-bisikan di atas, berarti : datang dari Allah swt., atau dari malaikat.


Saya katakan, bahwa semangat yang membara dapat mendorong manusia untuk segera melakukan aktivitas, tanpa adanya pertimbangan dari mata hatinya, tanpa mengingat pahala bisa menjadi faktor yang membangkitkan kondisi itu semua.

Sedangkan cara hati-hati adalah cara-cara yang terpuji dalam beberapa segi.

Khauf, lebih cenderung seseorang untuk berusaha menyempurnakan dan mempraktekkan suatu perbuatan yang benar dan bisa diterima Allah atas amal perbuatan itu.


Adapun perspektif hasil akhir suatu amal, hendaknya membuka mata hati dengan cermat dalam diri ada keyakinan bahwa amal tersebut adalah amalan yang lurus dan baik, atau adanya pandangan mengharapkan pahala di akhirat kelak. Ketiga kategori di atas harus ketahui dan sekaligus anda jaga. Sebab, semuanya mengandung ilmu-ilmu yang rumit sehingga sulit didapatkan dan rahasia-rahasia yang mulia.

IQRO....

Hati yang Ikhlas....

Orang yang ikhlas adalah manusia yang dilindungi oleh Allah dari penyakit hati tersebut. Rasulullah memberi peringatan kepada umat Islam agar menjauhi hal-hal yang bisa menodai dan mengikis sifat keikhlasan kepada Allah seperti sombong. Sabda Rasulullah SAW: ''Sedikit dari sifat riya itu adalah syirik.Maka, barang siapa yang memusuhi wali-wali Allah niscaya sesungguhnya dia telah memusuhi Allah. Sesungguhnya Allah sangat mengasihi orang yang berbakti dan bertakwa serta yang tidak diketahui orang lain tentang dirinya. Jika mereka tidak ada dan hilang dalam acara apapun, mereka tidak dicari oleh orang lain, dan kalau mereka hadir di situ mereka tidak begitu dikenali oleh orang lain. Hati nurani mereka umpama lampu petunjuk yang akan menyinari mereka hingga mereka keluar dari tempat yang gelap gelita.'' (Hadis riwayat Hakim)

Itulah harapan dan impian mereka dengan pengabdian yang penuh tulus dan ikhlas semata-mata karena Allah. Allah berfirman, ''Katakanlah: sesungguhnya solatku dan ibadatku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah Tuhan yang memelihara dan mengatur seluruh alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan demikianlah aku diperintahkan dan aku (di antara seluruh umatku) adalah orang yang pertama Islam (yang berserah diri kepada Allah dan mematuhi perintah-Nya).'' (QS al-An'am, ayat 162 - 163).

Imam al-Ghazali menyatakan, semua manusia sebenarnya celaka, kecuali yang berilmu. Ilmuwan juga celaka, kecuali yang benar-benar mengamalkan ilmunya. Yang disebutkan terakhir ini pun celaka, kecuali yang menghiasi diri mereka dengan sifat ikhlas. Ringkasnya, selama seorang Muslim itu menyerahkan dirinya sepenuh hati kepada Allah dengan penuh keikhlasan, maka selama itulah segala gerak gerik dan diamnya, tidur dan jaganya akan dinilai sebagai satu langkah ikhlas dan tulus menuju keridaan Allah.

Tiga ciri ikhlas
Seorang yang ikhlas memiliki ciri tersendiri sehingga menjadi lambang keperibadiannya:


Pertama, tidak terpengaruh atau termakan oleh pujian dan cercaan orang lain. Bagi mereka segala pujian yang indah atau cercaan yang buruk adalah sama nilainya.

Kedua, tidak mengharapkan balasan atau ganjaran dari amal kebajikan yang pernah dilakukan, tetapi dia hanya mengharapkan keridaan Ilahi.

Rasulullah SAW bersabda: ''Pada hari kiamat nanti, dunia akan dibawa, kemudian dipisah-pisahkan, apa yang dikerjakan karena Allah dan apa yang dilakukan bukan karena Allah, lalu dicampakkan ke dalam api neraka.'' (Hadits riwayat Baihaqi)

Ketiga, orang yang tidak pernah mengungkit-ungkit kembali segala kebaikan yang pernah dilakukan. Artinya, orang yang selalu menyebut tentang kebaikan yang pernah dilakukan, apalagi menghina dan memburuk-burukkan orang yang pernah diberikan bantuan, maka sesungguhnya dia sangat jauh dari golongan orang yang ikhlas. Rasulullah SAW pernah memerintahkan kita agar bersedekah secara diam-diam, jauh dari penglihatan orang banyak. Umpama tangan kanan memberi sedangkan tangan kiri tidak mengetahuinya. 

Sabda Rasulullah SAW: ''Bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh dan rupa kamu, tetapi Dia hanya melihat kepada hati kamu.'' (Hadits riwayat Muslim)